Wednesday, May 28, 2008

Friday, May 23, 2008

Pondok Pesantren Darul-Hikmah Membuka Pendaftaran Santri Baru

Pondok Pesantren Darul-Hikmah membuka pendaftaran santriwan-santriwati baru. Demikian juga untuk unit sekolah Darul-Hikmah (SD - SMA) telah dibuka pendaftaran peserta didik baru. Untuk lebih jelasnya lihat brosur KLIK!

Monday, May 12, 2008

Personalia Darul-Hikmah

Darul-Hikmah berada di bawah naungan Yayasan Darul-Hikmah Al Ihsaniyah. Susunan Pengurus Yayasan Darul-Hikmah Al Ihsaniyah adalah sebagai berikut: KLIK!


Guru & Pegawai pada Unit-unit Darul-Hikmah : KLIK!

Sejarah Darul-Hikmah

SEJARAH PONDOK PESANTREN DARUL-HIKMAH YOGYAKARTA

Secara kronologis, sejarah pendirian PPDH dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a. Periode awal (1991-1996). Pendirian pondok pesantren ini bermula dari sebuah masjid sederhana sebagai sarana beribadah masyarakat muslim di Dusun Sembung. Ketika masyarakat merasakan kebutuhan sarana dan prasarana beribadah yang lebih memadahi, maka masjid sederhana tersebut kemudian direnovasi untuk menambah daya tampung jama’ah. Melalui usaha yang kuat dari beberapa tokoh masyarakat Sembung baik yang berada di Jakarta, Surakarta maupun yang berdomisili di Sembung sendiri, maka pada tanggal 17 April 1992, pembangunan dan renovasi Masjid Darul-Hikmah selesai diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Setelah masjid selesai dibangun dan direnovasi kemudian muncul ide bahwa anak-anak usia pra-sekolah dan usia sekolah membutuhkan sarana untuk kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, kantor Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Taman Kanak-Kanak (TK) Kuncup Mekar II, Takmir Masjid dan Remaja Masjid Darul-Hikmah (PRIMADHA) serta Koperasi Sendi Mulya, yang berada di sekitar masjid juga perlu diperbaiki tempat kegiatannya. Oleh karena itu, kemudian Yayasan Darul-Hikmah yang dibentuk bersamaan dengan selesainya pembangunan dan renovasi masjid, membangun satu unit gedung untuk dipergunakan bagi perkantoran yang ada di sekitar masjid tersebut, pembangunan gedung ini selesai pada tahun 1997. Pada saat itu kegiatan Masjid Darul-Hikmah masih terbatas pada pengelolaan TPA, Majlis Ta’lim dan kegiatan remaja masjid.
b. Periode pembangunan (1996-1998). Pada periode ini Yayasan Darul-Hikmah (YDH) membangun dua buah unit gedung yang dikemudian hari diberi nama Gedung Ibnu Rusydi dan Gedung Ibnu Kholdun. Pada periode ini pengurus YDH terus berupaya membangun sarana dan prasarana serta sistem pendidikan pondok pesantren. Salah satu upaya pembangunan sistem pendidikan pondok pesantren itu ialah dengan diselenggarakannya kegiatan-kegiatan kajian/pelatihan bagi mahasiswa. Selain itu dibentuk pula Pusat Studi Agama dan Pengembangan Potensi Umat (PSAPPU) RAMADANIA sebagai pusat kajian keagamaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pada periode inilah secara resmi PPDH didirikan, yaitu pada tanggal 21 juni 1998. (sumber prasasti peresmian oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Dr. Ir. Muslimin Nasution).
Dari dua periode tersebut yaitu periode awal dan periode pembangunan, PPDH yang diidam-idamkan oleh para pendirinya belum juga menampakkan kemajuan yang signifikan selain kemajuan dalam bidang pembangunan fisik. Hal ini dikarenakan belum adanya pemimpin yang mampu mengelola lembaga pendidikan layaknya sebuah pondok pesantren pada umumnya dan lemahnya sistem publikasi tentang keberadaan lembaga tersebut kepada masyarakat luas.
c. Periode pengembangan, PPDH pada tahun 1999 ini secara lambat namun pasti, menampakkan denyut kehidupan kepesantrenannya dengan hadirnya seorang pengasuh, yaitu K.H. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. Pada periode ini PPDH mulai membangun sistem pendidikan yang mengarah pada perpaduan dua sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren. Dalam hal ini penerapan sistem pendidikan nasional diselenggarakan di pendidikan formal. Sekolah yang pertama didirikan adalah SLTP (1999), disusul kemudian pada tahun 2002 berdiri SDIT dan terakhir SMA-T pada tahun 2003. Sedangkan sistem pendidikan pesantrennya dengan menyelenggarakan kajian-kajian khas pesantren seperti kajian kitab-kitab klasik/kitab kuning dengan metode bandongan, sorogan dan sejenisnya.
d. Periode Peralihan; terhitung sejak 21 Juni 2003 KH. M. Fadlil Munawwar Manshur, M.S meninggalkan kampus Darul-Hikmah karena masa tugas lima tahun beliau telah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan jabatan lagi. Ketiadaan seorang pengasuh di Darul-Hikmah membuat suhu udara menjadi panas, kering, hampa tanpa ruh. Masa fatroh (kekosongan pemimpin) ini berpengaruh besar pada kelancaran segala kegaiatan pesantren. Apalagi kepergian beliau diikuti pula oleh sebagian besar pembimbing dan santri DH. Sebuah eksodus besar-besaran! Tak berapa lama, tanggal 1 Januari 2005 hadirlah figur baru penyejuk dan penyemai kedamaian di asrama DH. Beliau adalah Drs. K.H. Muhammad Fathul Hilal, seorang muballigh yang humanis, rendah hati, sederhana dan bijaksana. Banyak kemajuan yang beliau hasilkan dalam waktu yang singkat. Suasana tegang dan ekskulisifme yang melekat erat pada diri Darul-Hikmah telah mampu beliau leburkan. DH mampu berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat. DH dan masyarakat sudah menjadi satu keluarga. Inklusif!! Oleh karenanya, masa yang disebut terakhir ini lebih dikenal dengan Periode Kebangkitan.

Letak Geografis Darul-Hikmah

LETAK GEOGRAFIS PPDH
Secara geografis Pondok Pesantren Darul-Hikmah (PPDH) terletak di wilayah Dusun Sembung Desa Purwobinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Propinsi Yogyakarta. Wilayah yang berada di kaki Gunung Merapi ini merupakan daerah yang cukup sejuk dengan nuansa pedesaan yang cukup kental. Pondok Pesantren Darul-Hikmah menempati areal tanah seluas 7.000 m dengan batas perkampungan sebagai berikut; a) sebelah utara berbatasan dengan kampung Senden, b) sebelah barat berbatasan dengan kampung Tegal Sembung, dan c) sebelah selatan dan timur berbatasan dengan kampung Pelem.
Jarak PPDH dari pusat Yogyakarta 15 KM. Pondok Pesantren yang beralamt di Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Jogja ini bisa dicapai dengan menggunakan angkutan pedesaan baik dari arah Pasar Kranggan maupun dari arah Pasar Pakem. Dengan jarak cukup jauh dari pusat kota ini, posisi PPDH bisa dikatakan kurang strategis karena akses masyarakat Yogyakarta kurang begitu optimal. Hal ini secara langsung berpengaruh besar terhadap publikasi pondok tersebut, sehingga perkembangannya sampai saat ini belum sesuai dengan yang di harapkan.

Pengertian dan Tipe Pesantren

PENGERTIAN DAN TIPE PESANTREN

Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982: 18). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu (Wahjoetomo, 1997: 70)
Dalam buku Pola Pembelajaran di Pesantren (Depag, 2003: 4-5), disebutkan istilah pesantren berasal dari India, karena adanya persamaan bentuk antara pendidikan pesantren dan pendidikan milik Hindu dan Budha di India ini dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak dijumpai pada sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya berisi murni nilai-nilai agama, kiai tidak mendapatkan gaji, penghormatan yang tinggi kapada guru serta letak pesantren yang didirikan di luar kota. Data ini oleh sebagian penulis sejarah pesantren dijadikan sebagai alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren adalah karena pengaruh dari India.
Terlepas dari pebedaan istilah pesantren tersebut, karena yang dimaksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan Islam, dalam pengembangannya di Jawa telah dirintis oleh wali songgo. Di antaranya syekh Maulana Malik Ibrahim (w 8 April 1419 H) dan dikembangkan oleh muridnya Raden Rahmad (sunan Ampel) (Wahjoetomo, 1997: 70).
Di antara komponen-komonen yang terdapat pada sebuah pesantren adalah; (1) pondok (asrama santri), (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran kitab-kitab klasik/kitab kuning, (5) kiai dan ustadz (6) madrasah/sekolah (Depag, 2003: 8) serta (7) sistem tata nilai (salaf/ tradisional-khalaf/modern) sebagai ruh setiap pesantren. Pada pesantren-pesantren tertentu terdapat pula di dalammya madrasah atau sekolah dengan segala kelengkapannya.
Secara umum pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). (1) Pesantrer salaf menurut Zamakhsyari Dhofier, (dalam Wahjoetomo, 1997: 83) adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan, yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu. (2) Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya (Depag, 2003: 87). Dengan demikian pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dimodernkan pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.

Prinsip dan Ciri Pendidikan Pesantren

PRINSIP DAN CIRI PENDIDIKAN PESANTREN

Menurut Nurcholis Madjid (dalam Nata, 2001: 113) menjelaskan setidaknya ada dua belas prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren, yaitu; (1) teosentrik, (2) ikhlas dalam pengabdian, (3) kearifan, (4) kesederhanaan (bukan berarti miskin), (5) kolektivitas (barakatul jama’ah), 6) mengatur kegiatan bersama, (7) kebebasan terpimpin, (8) kemandirian, (9) tempat menuntut ilmu dan mengabdi (thalabul ‘ilmu lil ‘ibadah), (10) mengamalkan ajaran agama, (11) belajar di pesantren untuk mencari sertifikat/ijazah, dan (12) kepatuhan terhadap kiai (Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, 2003: 91).

Di antara ciri pendidikan pesantren adalah; (1) ada hubungan yang akrab antara santri dan kiainya, (2) kepatuhan santri terhadap kiai, (3) hidup hemat dan sederhana bener-bener diwujudkan dalam lingkungan pesantren, (4) kemandirian amat terasa di pesantren, (5) jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwwah Islamiyyah), (6) disiplin sangat dianjurkan, (7) keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia, dan (8) pemberian ijazah (Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, 2003: 93), (Bahri Ghozali, 2002: 34).

Dari prinsip dan ciri pendidikan pesantren di atas, tidak tepat jika pesantren di nilai dengan tolok ukur non pesantren. Misalnya pesantren dalam prestasi akademik, karena pesantren selalu identik dengan nilai-nilai moral dan etik serta kualitas prestasi santri sering diukur dengan tolok ukur akademik dan kesalihan (kualitatif), bukan indikator-indikator kuantitatif (nilai angka). Sedangkan ciri-ciri pesantren di atas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuk yang masih murni (tradisional). Penampilan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terur-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tidak relevan jika ciri-ciri pendidikan pesantren murni di atas dilekatkan kepada pesantren-pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadopsian dengan sistem pendidikan modern.